Harusnya aku tak mendengarkan celotehannya yang begitu panjang. Ini membuatku tak bisa menulis.
Sejak ku katakan
padanya bahwa aku sedang menulis novel, dia selalu datang kerumahku setiap hari.
Bercerita panjang lebar, mempertanyakan segala hal yang tidak penting, mengajak
diskusi tentang topic murahan, dan selalu membuntutiku kemanapun aku pergi. Memangnya
dia ini siapa? Sejak kapan kami dekat? Dia pikir aku ini temannya?
Ah, aku
benci pengganggu seperti dia. Aku tidak suka teman macam dia. Lebih baik tak
usah ada teman sama sekali. Daripada harus diganggu terus seperti ini.
Padahal,
deadline tulisanku tinggal seminggu lagi. Tapi, anak itu selalu datang
menggangguku. Ada apa dengan dia?
Walau aku
tidak terbiasa mengusir orang, kali ini harus kulakukan. Aku harus membuatnya
menjauh. Tapi, bagaimana cara mengusirnya. Anak ini terus lengket padaku
seperti perangko.
“Fae, kamu
tidak pulang?” Cih. Ucapan apa barusan? Apa ucapan itu cocok untuk mengusir
orang?
Wajah anak
itu memerah. Dia sepertinya tidak pernah diperlakukan kasar. Anak manja.
“Kakak keberatan
aku disini?” Matanya berkata-kaca. Bibirnya dimanyun-manyunkan. Dasar gadis cengeng!
“Maaf. Fae,
kita tidak pernah berteman. Jadi, pulanglah”.
“Hiks, Kak
Aldo jahat!”
“AAAA..
MAMAAA…!!”
Dia malah
menangis. Sebenarnya aku tak tega, tapi aku senang mendengar tangisannya. Itu tandanya
dia akan membenciku dan tidak akan pernah menggangguku lagi, kan?
Eh, tapi…
“Aldo, apa
yang kamu lakukan? Fae Cuma ingin berteman denganmu!”
Tuh kan,
ibunya datang. Sudah kuduga.
“Aku tidak
suka bermain, tante. Suruh Fae mencari teman lain. Aku suka sendirian”
Jawabanku sadis?
Tentu saja. Aku sudah menyiapkan kata-kata itu untuk jaga-jaga.
“Kamu
memang kejam, ya? Pantas saja rumahmu sepi, seperti rumah hantu. Tinggal saja
disitu sendiri, sampai kamu mati!”
Wah tante Zia
ternyata lebih sadis!
“Terimakasih
atas perhatiannya tante, aku mau tutup gerbangnya kalau tante sudah selesai”.
Wah,
ternyata aku bisa sadis juga. Senangnya!
“Anak
sialan!” Gerutu tante Zia.
Akhirnya,
bocah pengganggu itu sudah pergi. Begini lebih nyaman. Tak ada suara apapun
kecuali bunyi keyboard laptop dan hembusan nafasku.
Dari dulu,
aku memang selalu sendirian. Aku menulis novel juga karena kesepian. Tapi, aku
tidak butuh teman. Rasanya duniaku akan hancur jika ada teman yang bisanya
hanya mengganggu kehidupanku yang tenang.
Guk Guk! Guk
Guk Guk!
Anjing penjaga
rumahku menggonggong terus dari tadi. Dia terus-terusan menggonggong kearah rumah
Fae. Apa anjing itu belum terbiasa dengan tetangga barunya?
“Boy,
berhentilah menggonggong. Ini sudah malam!” Teriakku dari jendela kamar. Anjing
itu seketika berhenti menggonggong.
BUKK! BUK!
BUKKK!
AIK.. AIKK..
AIK.. AIK..!!
Anjingku?
Boy!
Boy!
Aku berlari
sekencang-kencangnya menuruni anak tangga. Aku harus menyelamatkan Boy, temanku
satu-satunya di rumah ini. Sepertinya ada yang menyakitinya. Akan
kuhabisi, siapapun itu!
Auuuukk! Guk!
GUk! GUk!
Boy terus
melonglong kearah rumah Fae. Aku terkejut melihat sosok itu di depan rumahku.
“Fae?!”
Di sekitar
Boy sudah penuh dengan beberapa kepalan batu. Sedangkan Fae ada disana dengan
menjinjing keresek. Keresek berisi batu? Untuk melempari Boy?
“Kamu yang melempari
Boy?”
“Bukan aku,
enak saja kakak menuduhku!”
“lalu, itu
apa dikepalan tanganmu, dan di pelastik itu?”
“Batu” Jawabnya
ketus.
Gadis sialan!
Sudah jelas dia pelakunya!
“Fae,
Kubunuh kau!”
Syutt! Sekepalan
batu melayang. Hampir saja kena kepalaku. Untunglah aku menghindar.
“Awas kau,
Psikopat cilik!” Aku mendekati Fae yang terlihat menantangku.
Buk! Bak!
Buk! Bocah itu menyerang dengan lemparannya yang tepat sasaran. Meskipun aku
mencoba menghindar. Fae jago memprediksi gerakan ku. Ku akui, dia gadis kecil
yang berbahaya.
Kenapa dia
tetap diam ditempat? Dia tidak takut aku mendekatinya? Ini mencurigakan!
Saat langkahku
semakin dekat. Fae mengeluarkan pisau dari saku celana treningnya. Pisau lipat
bergerigi? Dari mana dia bisa mendapatkan pisau yang biasa dipakai pereman
seperti itu?
“Fae, kau
gila?” Langkahku terhenti.
“Tidak, aku
hanya melindungi diriku!”
Kini gadis
itu yang maju, dia mengacungkan pisaunya yang berkilau diterpa cahaya lampu
taman.
“Kamu tidak
bawa apa-apa? Aku kira kita akan duel senjata tajam malam ini. Sayang sekali!”.
Suara Fae yang biasanya lembut kini terdengar sangar. Dia tampak serius. Bagaimana
kalau dia psikopat sungguhan?
“Fae! Apa
ibumu tidak ada? Kenapa kamu berkeliaran malam-malam dan mengganggu ketenangan
tetanggamu sendiri?” Aku mengululur waktu.
Lihatlah. Gadis
itu seperti sudah siap bertarung, sedangkan aku tidak dalam posisi siap
berkelahi. Kaki telanjang tanpa sandal, baju kaos tipis dan celana pendek. Posisiku
sangat berbahaya.
Wwwuuut!
Wuuut!
Fae menyabet dengan sembarang, dia menyerang dengan brutal. Aku tak bisa apa-apa kecuali menghindar. Sial, aku bisa mati jika diserang begini.
Fae menyabet dengan sembarang, dia menyerang dengan brutal. Aku tak bisa apa-apa kecuali menghindar. Sial, aku bisa mati jika diserang begini.
“Hentikan
Fae! Atau kupanggil ibumu!”
“Hahaha,
kau takut, hah?”
Fae terus
menyerang, sementara aku masih belum mendapat celah untuk bisa melawannya.
“Tante zia,
lihat anakmu menggila!”
“Ahahaha. Panggil
saja tante Zia mu itu. Dia tidak ada.”
Wwwuut! Wwwuuttt!
“Ibumu
sedang pergi?”
“Dia juga
sudah mati. Ahahaha”
DEG! Benarkah?
Kresssh!
Sabetan
pisau mengenai lengan ku, Fae tak bisa diprediksi. Dibalik badannya yang mungil
ternyata tersimpan kekuatan yang tak terduga.
Kreeessssh!
Bukkk!
Bukkk!
Fae
menyabet, menendang, dan memukul ku dengan brutal.
AAAAAAAArrrggghhh!
Kreeessssh!
Bak! Buuk!
"AAAAAAAArrrggghhh!
Faeee, hentikan!"
“Ahahahaha.
Senangnya bermain dengan kakak. Ahahaha”
Berkali-kali
kucoba menendang pisau dari genggaman tangannya, tapi dia sangat kuat. Aku menyesal
tak pernah latihan bela diri. Menghadapi bocah saja aku tak becus.
Aku mandi
darah. Fae terlihat gembira. Sepertinya aku akan mati ditangannya.
Sepinya malam
ini terasa mengerikan. Biasanya aku suka kesunyian, baru kali ini aku
membencinya. Beginikah resiko tinggal sendirian dirumah yang jauh dari keramaian?
Kenapa di sekitar sini hanya ada dua rumah? Andai saja ada rumah lain…
Aku
limbung. Sepertinya nyawaku tidak lama lagi akan melayang.
Kressssh!
Kresssh! Kreeesssh! Sabetan itu tak juga berhenti meski aku telah ambruk.
Dalam sekarat,
aku merasakan tubuh mungil memelukku sambil tertawa-tawa. Rasanya seperti di antar
keneraka dengan paksa. Fae… Kau… Ternyata…
Cerpen lain ---> Bayi Monster
No comments:
Post a Comment