Keragaman berbicara memberikan arti berbeda pada satu kalimat yang sama. Disinilah perannya parabahasa, sehingga pesan dapat memiliki arti yang berbeda tenrgantung kepada; tinggi rendahnya suara, keras-lembutnya, irama, naik-turunnya suara, juga termasuk sikap keraguan dalam pengucapannya. Tata-krama dalam memilih bahasa, juga ada aturannya dalam islam.
Kapan
suara harus ditinggikan, kapan suara harus direndahkan, kepada siapa boleh
meninggikan suara, kepada siapa harus melembutkan suara, semuanya tertera di
dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi.
“ Dan tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu seorang di antara keduanya
atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
[Qs.
Al Israa’ :23]
Ayat
ini menegaskan bahwa seorang muslim harus santun kepada orang tuanya. Karena
mengucapkan ‘ah’ saja termasuk kata-kata yang bisa menyakiti orang tua. Apalagi
jika menggunakan intonasi yang meninggi.
Akan terkesan menantang, membentak, dan menghina kehormatan orang tua. Oleh karenanya Islam menghendaki ummatnya sopan santun kepada orang yang lebih tua, terutama orang tuanya sendiri.
Akan terkesan menantang, membentak, dan menghina kehormatan orang tua. Oleh karenanya Islam menghendaki ummatnya sopan santun kepada orang yang lebih tua, terutama orang tuanya sendiri.
Namun,
kata ‘ah’ tidak akan menyakiti apabila dalam konteks yang berbeda. Tidak dalam
konteks membantah. Misalnya, seorang ibu membelikan pakaian kesukaan anak
perempuannya.
Dengan manja sang anak mengatakan “ah ummi, tau aja kesukaan adek”. Dalam suasana ini tentu kata ‘ah’ berbeda maknanya. Itulah sebabnya setiap kata akan berbeda maknanya tergantung cara mengucapkannya, intonasinya, dan konteksnya.
Dengan manja sang anak mengatakan “ah ummi, tau aja kesukaan adek”. Dalam suasana ini tentu kata ‘ah’ berbeda maknanya. Itulah sebabnya setiap kata akan berbeda maknanya tergantung cara mengucapkannya, intonasinya, dan konteksnya.
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah
mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’.”
[Qs.
Al Israa’ :24]
Masih
sambungan ayat sebelumnya. Ayat ini memberikan contoh doa terbaik untuk kedua
orang tua. Dan mengajarkan umat isalam untuk santun, patuh, bersikap lemah
lembut sebagai penghormatan kepada jasa-jasa orang tuanya diwaktu ia kecil.
Sebagai bukti penghormatan tersebut, maka seorang anak harus mendoakan orang
tuanya.
Di
Aceh memiliki beragam gaya berbicara di masing-masing daerahnya. Perbedaan
intonasi berbicara selalu terjadi di berbagai daerah. Yang paling kentara
adalah perbedaan penduduk pesisir dengan penduduk pegunungan.
Bahasa yang halus, santun, lembut, biasanya digunakan oleh penduduk pegunungan, sedangkan penduduk pesisir kerap kali menggunakan bahasa kasar, dan dari intonasinya juga lebih tinggi.
Bahasa yang halus, santun, lembut, biasanya digunakan oleh penduduk pegunungan, sedangkan penduduk pesisir kerap kali menggunakan bahasa kasar, dan dari intonasinya juga lebih tinggi.
Namun
secara keseluruhan, adat Aceh tidak membenarkan berbicara keras atau kasar
kepada orang tua atau yang di-tua-kan. Dari manapun asal mereka, apakah mereka
orang pesisir atau orang pegunungan, tetap saja apabila berbicara kepada orang
tua harus dengan nada santun.
Intonasi
suara sangat penting dalam sebuah komunikasi. Ada sebuah penelitian yang
menemukan bahwa intonasi suara berperan sebesar 37% dari pesan yang
disampaikan. Sedagkan isi pesan hanya mendapat perhatian 7% sedangkan sisanya
yang 56 % adalah bahasa tubuh. Karena parabahasa memiliki petunjuk kearah mana
pesan akan dibawa. Sehingga isi pesan yang sesungguhnya akan diperoleh dari
petunjuk yang ada.
No comments:
Post a Comment